Bencana Di Indonesia

on Jumat, 05 November 2010

Erupsi Merapi
BEGITU seringnya terjadi bencana alam, termasuk kecelakaan moda transportasi di Indonesia, sampai sampai SBY dibuat guyonan dengan singkatan Sering Bencana Ya. Tentu tidak ada kaitannya namun pada era awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kita dikejutkan dengan bencana dahsyat yakni gempa dan tsunami di Aceh, tanggal 26 Desember 2004.

Melihat jumlah korbannya yang mencapai lebih 200 ribu jiwa meninggal dan kerusakan fisik yang sangat parah dan meluas, bencana Aceh termasuk yang terbesar di dunia. Setelah itu, bencana pun datang beruntun dan memakan energi besar bangsa ini untuk mengurusi.

Sampai yang terbaru, tiga bencana datang hampir bersamaan, yakni banjir bandang di Wasior Papua, gempa diikuti tsunami di Mentawai Sumatra Barat, dan erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi bencana rutin seperti banjir di Jakarta, tanah longsor di banyak daerah dan banyak lagi.

Bencana alam tak bisa ditolak kedatangannya meskipun sebagian juga karena ulah manusia misalnya karena penggundulan hutan. Namun kita tak bisa sepenuhnya menyerah pada fenomena alam karena manajemen manusia dengan segenap kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya, termasuk pengalaman serta peradaban bertahun-tahun, bisa mengurangi dampak bencana, bahkan meminimalkan korban.
Karena kondisi dan letak geografisnya, negara kita memang rawan bencana.


Karena itu, mengapa tidak mencoba mengakrabi bencana daripada sekadar mengeluh dan mengeluh. Negara seperti Jepang juga sudah lama akrab dengan gempa dan tsunami namun mereka  lebih mampu menjinakkan keganasan alam itu. Bahkan soal penanganan bencana sudah diajarkan sejak di bangku pendidikan, di samping seluruh kemampuan ipteknya diarahkan untuk mencapai upaya menghadapi dampak bencana dengan orientasi yang sangat fokus, yakni menyelamatkan jiwa manusia.

Mengakrabi bencana lebih diarahkan pada langkah preventif atau upaya mencegah dan mempersiapkan segala sesuatunya sebelum terjadi bencana. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil ataupun terlampau mahal kalau kita konsisten dan disiplin melakukannya. Penduduk sekitar Merapi tentu sudah mengenal karakter gunung berapi yang sekarang paling aktif di dunia itu. Penduduk di sekitar pantai di Cilacap seharusnya dikenalkan bagaimana mereka mengevakuasi dengan berlari ke Gunung Selok, bukit terdekat, bila terjadi tsunami. Lembaga kemanusiaan seperti Palang Merah Indonesia (PMI) sudah beberapa kali melakukan simulasi evakuasi itu.

Tetapi lagi-lagi manusia berulah. Kita tidak disiplin dengan diri sendiri. Baik pemerintah maupun masyarakat lengah dan kurang peka terhadap bencana alam. Langkah preventif dianggap sebagai sesuatu yang bukan prioritas. Begitu juga kesiapan lainnya terkait dengan organisasi, manajemen, peralatan, sumber dana, dan masih banyak lagi. Keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah merupakan langkah maju namun mereka juga belum bisa berbuat banyak karena relatif baru.

Secara teoritik, tsunami bisa dideteksi maka melalui mekanisme early warning system penduduk yang terancam bisa diberitahu dan kemudian lewat alarm serta sirine yang meraung-raung mereka didorong segera menyelamatkan diri dengan berpindah ke tempat yang tinggi.

Sayangnya bukan saja deteksi dini tidak ada dan peringatan tidak diberikan, laporan tentang kejadian tsunami dan gempa di Kepulauan Mentawai bahkan baru diterima 12 jam setelah kejadian. Betapa lemah kemampuan bangsa ini untuk menangani wilayah negara yang begitu luas. Belum lagi soal keterbatasan sarana untuk membantu, termasuk transportasi. Lagi-lagi kita masih banyak bergantung kepada TNI untuk menangani bencana terutama di medan-medan yang sangat sulit dijangkau.

Manajemen Bencana

Manajemen bencana secara nasional sudah waktunya dibakukan sebagai bentuk kesadaran bangsa ini yang harus sigap menghadapi bencana. Dalam penanganan bencana mulai tanggap darurat hingga ke rehabilitasi dan pembangunan kembali sarana yang rusak, memang kita akhirnya bisa menyelesaikan. Bantuan dana nyaris tak pernah kurang karena solidaritas sosial masyarakat serta uluran donor dari negara-negara lain.
Dalam waktu lima tahun Aceh berhasil kembali dibangun dengan kondisi yang lebih baik daripada sebelum terjadi bencana. Dana triliunan rupiah dan bantuan dari lebih 33 negara mampu mengatasi semua kesulitan itu terlepas dari kekurangan yang masih ada.

Tetapi siapa yang memikirkan tindakan preventifnya? Manajemen bencana itulah yang harus melakukan antisipasi secara menyeluruh, terutama didasarkan atas peta rawan bencana yang telah dimiliki. Dengan demikian kalau bencana datang jumlah korban akan bisa diminimalkan. Seperangkat peraturan dibuat dengan lebih sistematis disertai penegakan hukum yang tegas terkait dengan pengaturan permukiman di daerah rawan bencana, pembuatan rumah tahan gempa dan sebagainya. Banyak yang bisa dilakukan namun belum banyak yang dikerjakan.

Setelah itu manajemen bencana ketika sudah terjadi pun disiapkan sehingga tidak semuanya menjadi serbadarurat. Lihatlah penanganan pengungsi Merapi atau ketika bencana gempa di Yogya-Klaten belum lama ini yang masih terkesan serbamendadak dan tidak terencana dengan baik termasuk pendanaan.

Pemerintah kabupaten merasa tak punya anggaran untuk merawat pengungsi tetapi yang lebih memprihatinkan bukan soal anggaran melainkan pada kecepatan dan ketepatan bertindak. Bersyukurlah relawan PMI, aparat TNI, dan organ-organ lain di masyarakat, termasuk partai politik, semua ikut mengerahkan daya dan upayanya. Namun sekaligus itu memperlihatkan sebuah upaya spontan dan tidak terkelola dengan baik.

Mengakrabi bencana haruslah menjadi kebijakan secara nasional dan bisa diaplikasikan sampai di daerah. Begitulah gambaran birokrasi dan pemerintahan kita hingga sekarang. Mestinya cukuplah Menko Kesra dan Menteri Sosial yang mengambil alih persoalan sehingga tidak sedikit-sedikit Presiden dan Wapres harus turun ke lapangan walaupun kehadiran itu perlu, sebagai bentuk empati dan simpati kepada korban dan keluarganya.

0 komentar:

Posting Komentar